TEOLOGI,
SPIRITUALITAS DAN SENI
The Chronicles
of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe
KARANGAN
C. S. LEWIS
I.
Pendahuluan
C.S.
Lewis (1898-1963) penulis dari kisah fantasi The Chronicles of Narnia, mencoba menyampaikan beragam makna
positif yang secara halus dan mudah dipahami tersaji dalam rangkaian kisah
petualangan di dunia Narnia. Narnia yang diceritakan dalam bukunya adalah dunia
khayal yang penuh dengan keajaiban (bila dibandingkan dengan dunia biasa yakni
bumi), dan Narnia bisa dimasuki manusia lewat sebuah lemari baju (wardrobe).[1]
Buku
pertama cerita fantasi dunia Narnia yang ditulis Lewis, berjudul The Chronicles of Narnia: The Lion, The
Witch, and The Wardrobe, selesai ditulis pada tahun 1949.[2] Meski pada dasarnya C.S
Lewis (selanjutnya disebut Lewis) tak berencana untuk melanjutkan kisah Narnia
yang pertama ini, namun ketika buku tersebut mendapat sambutan yang baik dari
pembacanya, ia kemudian secara berkesinambungan membuat keenam buku lainnya.
Jadi bila diurutkan, buku ini adalah buku yang mengawali serial petualangan
Narnia yang secara keseluruhan terdiri atas 7 (tujuh) buku.
Selain
dalam bentuk novel (sebagai karya sastra) yang laris dan sukses, The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
kemudian diangkat menjadi sebuah film. Film tersebut dibuat berdasarkan buku, The Chronicles of Narnia: The Lion, The
Witch and The Wardrobe
novel pertama yang diterbitkan dalam seri fantasi anak-anak The Chronicles of Narnia karangan C.S.
Lewis.
There are a thousand
stories in the land of Narnia... The first is about to be told. (bahasa Indonesia: "Ada ribuan cerita dalam tanah Narnia … Yang pertama akan segera diceritakan.")[4]
The Chronicles of Narnia: The
Lion, The Witch and The Wardrobe adalah sebuah karya yang mengagumkan dan sarat
dengan pesan moral. Dibalik bentuknya sebagai karya seni yang indah yakni dalam
bentuk sastra, ternyata kita juga bisa menemukan kandungan teologis dan
spiritual di dalamnya, bahkan itu bisa dimaknai secara universal tidak hanya
terbatas pada satu agama atau keyakinan tertentu.
Hal itu
bisa dilihat dari orang-orang yang menggemari kisah The Chronicles of
Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe baik
yang dirilis dalam bentuk buku maupun dalam bentuk film. Tua-muda, laki-laki
dan perempuan, anak-anak hingga orang dewasa, orang yang beragama maupun tidak
(dalam konteks di barat) setiap orang tanpa terkecuali bisa menikmati The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe, sebab
karya tersebut bersifat universal dan bisa dinikmati semua kalangan.
Pemilihan
buku atau novel sebagai media kajian, penulis asumsikan sebagai sebuah karya
seni yang bisa digunakan dengan efektif dalam rangka berteologi dan
berspiritualitas, karena pada dasarnya karya sastra dalam hal ini melalui novel
yang berupa karya fiksi atau bisa dikatakan juga sebagai suatu narasi bisa
digunakan sebagai titik pijak dalam upaya refleksi teologi spiritual.[5]
Dalam
paper ini, saya (selanjutnya disebut penulis) mencoba untuk menggali kedalaman
makna teologi, spiritualitas dan seni dari The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe.
Pertama-tama saya akan membahas latar belakang pengarangnya C.S Lewis lalu
mengkaji The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe berdasarkan
buku novelnya serta merefleksikannya sebagai bahan masukan dan relevansi bagi
kehidupan bergereja, kemudian menyimpulkannya dalam bagian penutup.
II. Riwayat Hidup C. S.
Lewis
Clive
Staples Lewis atau yang lebih dikenal
sebagai C.S. Lewis lahir di Belfast tahun 1898. Dia adalah pengajar sastra
Inggris di Magdalen College, Oxford, kemudian menjadi profesor sastra abad
pertengahan dan pada masa Renaisans di Cambridge University. Dia tinggal di
Cambridge sampai wafat pada tahun 1963[6].
Dia menulis berbagai buku kritik sastra, yang paling
terkenal adalah The Screwtape Letters, juga empat novel dewasa. Ketujuh buku The Chronicles of Narnia adalah satu-satunya jenis novel yang
ditulisnya untuk anak-anak.[7]
Meriahnya sambutan
terhadap novel-novel The Chronicles of Narnia dan film The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe telah membuat nama C.S. Lewis
(1898-1963) sebagai penulis kisah tersebut semakin banyak dibicarakan bahkan dikagumi oleh banyak orang. Di kalangan penulis Kristen, C.S. Lewis mungkin dapat dibilang
sebagai penulis Kristen paling terkenal di
zaman modern ini. Ada beberapa sisi unik
dari hidup seorang C.S. Lewis, berikut beberapa di antaranya.[8]
1. Mampu menulis dalam berbagai genre
Lewis barangkali adalah pengarang yang paling tenar, karyanya paling
banyak dibaca dan paling sering disebut di dunia literatur Kristen moderen ini. Sepanjang tahun
1931-1962 ia telah menuliskan 34 buku, belum termasuk yang diterbitkan setelah
kematiannya.
Bakat menulisnya juga bisa disimak dalam berbagai genre tulisan
seperti puisi (Dymer), novel mitos (The Pilgrim's Regress), teologi populer
(Mere Christianity), filsafat (The Abolition of Man), fiksi luar angkasa (The
Ransom Trilogy), dongeng anak-anak (The Chronicles of Narnia), legenda yang
diceritakan kembali (Till We Have Faces), kritik sastra (The Discarded Image),
surat (Letters to Malcolm) dan otobiografi (Surprised by Joy). Walau menulis
dalam bermacam genre, pesan dan pokok pikiran Lewis selalu konsisten ada di
setiap tulisannnya.
2.
Membentuk Komunitas penulis
Sepanjang pertengahan tahun 1930-an sampai akhir 1940-an, setiap
hari Selasa dan Kamis, Lewis selalu mengadakan pertemuan dengan sesama rekan
penulisnya untuk mengobrol sekaligus mengkritisi tulisan masing-masing. Pertemuan itu disebut "The
Inklinks" dan melibatkan melibatkan penulis-penulis seperti J.R.R. Tolkien, Charles Williams,
dan saudara Lewis sendiri yang
bernama Warnie.
Warnie pernah menulis
dalam diarinya sebagai berikut[9]
"Kami bukan
orang-orang yang selalu saling memuji satu sama lain. Membacakan
karya di depan kelompok The Inklinks membutuhkan keberanian tersendiri."
Karya-karya sastra yang
dihasilkan oleh penulis-penulis dalam kelompok tersebut yang turut ditempa oleh kritik dari para sahabat di Inklinks antara
lain adalah The Screwtape Letters dan The Chronicles of Narnia karya Lewis dan The Hobbit karya Tolkien. Namun seperti
yang dikatakan Tolkien pada Clyde Kilby pada tahun 1965[10],
Selama keberadaan Lewis, saya rasa saya belum sempat menyelesaikan atau memperlihatkan The Lord of the Rings kepadanya.
3. Pikiran untuk
hal-hal yang lebih tinggi
Owen Barfield, salah satu teman dekat Lewis, bercerita bahwa pada suatu
saat Lewis menyuruh Barfield untuk mendirikan sebuah badan amal ("The
Agape Fund") yang didanai oleh hasil penjualan bukunya. Diperkirakan 90
persen dari pendapatan Lewis disalurkan kepada badan amal itu. Kemurahan
hatinya ini bertentangan dengan pendapat George Sayer yang mengatakan bahwa
Lewis mewarisi sifat ayahnya yang 'takut bangkrut', dan bahwa ayah dan anak itu
'paling enggan menginvestasikan uangnya.'
Tukang kebun Lewis yaitu Fred Paxford (yang menjadi inspirasi
karakter Puddlegum dalam buku The Silver Chair salah satu dari tujuh seri buku The Chronicles of Narnia), mendapati bahwa dalam wasiatnya, Lewis hanya mewariskan uang
senilai 100 pounds. Ia berkata,[11]
Dia memang tak pernah banyak memikirkan tentang uang.
Pikirannya selalu untuk hal-hal yang lebih tinggi lagi.
4. Novelis yang berkembang
Sebagai anak yang tumbuh di Belfast, Irlandia, ketika hari hujan
Lewis dan Warnie menghabiskan banyak waktunya di dalam rumah untuk
mengarang-ngarang cerita. Lewis menggambar untuk
membuat ilustrasi cerita tentang hewan-hewan yang bisa bicara, yang idenya
banyak diambil dari cerita-cerita karya Beatrix Potter, Kenneth Graham dan
kisah-kisah kepahlawanan para ksatria. Cerita- ceritanya kelak menjadi bagian
dari imajinasi yang lebih luas dari saudaranya tentang dunia "Boxen."
Dialog-dialog antar karakter cerita mereka biasanya memuat pembicaraan orang
dewasa yang sering mereka dengar -- biasanya tentang politik. Lewis pernah
menulis mengenai perbandingan kisah-kisah masa kanak-kanaknya tersebut dengan
cerita Narnia: "Kisah 'Animal Land' tidak ada hubungannya dengan Narnia
selain kesamaan adanya hewan yang bertingkah seperti manusia. Kisah Animal
Land, dengan segala kelebihan kekurangannya, tidak banyak memberikan rasa
ketakjuban." Walau demikian, dia juga berkomentar bahwa "Dengan
menciptakan dan mengarang Animal Land, saya sedang melatih diri untuk menjadi
novelis."
5. Apologetis dan
evangelis
Pada tahun 1955, C.S. Lewis diundang untuk bertemu Billy Graham,
yang memimpin sebuah misi yang disponsori oleh Cambridge Inter- Collegiate
Christian Union. Graham mengenang pertemuan itu dengan mengatakan: "Saya
merasa bahwa dia bukan hanya sosok yang pintar dan ceria namun juga lembut dan
penuh syukur; dia terlihat sangat tertarik dengan pertemuan (misi) kami. 'Anda
tahu,' katanya saat kami akan berpisah, 'Anda mungkin banyak dikritik, namun
saya belum pernah melihat ada di antara kritikus itu yang benar-benar mengenal
Anda secara pribadi'."
6. Melintasi
perbedaan
Banyak orang yang membaca buku pertama Lewis setelah bertobat
"The Pilgrim's Regress", mengira bahwa ia adalah seorang Katolik,
apalagi kenyataannya edisi kedua buku ini diterbitkan oleh sebuah penerbit
Katolik. Popularitas dan pengaruh yang ia miliki di antara orang Katolik juga
tetap muncul hingga kini. Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan bahwa "The
Four Loves" adalah salah satu buku favoritnya.
7. Bukan sebuah
perumpamaan namun "sebuah misal"
Tolkien tidak begitu menyukai sebagian kisah Narnia karena ia merasa
bahwa makna kekristenannya terlalu jelas, namun Lewis bersikeras bahwa ia tidak
sedang menulis perumpamaan dalam arti kata yang kaku. Dalam suratnya, Lewis
menjelaskan bahwa Aslan tidak dimaksudkan untuk "mewakili" karakter
Yesus dalam arti sederhana: "Mari kita bayangkan seandainya ada dunia
seperti Narnia, bahwa Anak Allah, yang menjadi manusia di dunia, kemudian
menjadi singa di sana, bayangkan apa yang akan terjadi kemudian."
8. Dari seorang yang atheis menjadi orang yang
percaya pada Tuhan
Selama bertahun-tahun, C.S Lewis penulis karya Narnia, merupakan
seorang ateis yang sangat sulit untuk diyakinkan tentang keberadaan Tuhan.
Dibutuhkan pergumulan intelektual yang panjang sebelum Lewis akhirnya menerima
keberadaan Tuhan. Lewis seringkali membombardir teman-temannya di Oxford,
tempatnya belajar dan tempat dimana akhirnya ia mengajar, dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang baginya memang tidak ada jawabannya.[12] Beberapa di antaranya misalnya:
“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu
kejam?”
“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan seorang bayi meninggal?”
“Mengapa Tuhan Anda mengizinkan hewan yang tidak berdaya
menderita sakit?”
“Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu
besar tapi hanya satu planet yang dapat didiami?”
“Mengapa alam semesta ciptaan Tuhan Anda ini berjalan sesuai
dengan perkiraan para ilmuwan?”
“Jika Tuhan Anda itu baik dan maha kuasa, mengapa begitu
banyak dari makhluk
ciptaan-Nya yang tidak gembira? Bukankah Ia maha pengasih?”
“Mengapa manusia selalu terlibat dalam perang dan saling
membunuh?”
Pada waktu itu Lewis hanya percaya pada rasionalisme dan
materialisme. Tetapi di dalam pencariannya yang panjang, ia akhirnya harus
mengakui bahwa materi dan rasio tidak dapat menjelaskan pengalaman manusia.
Setelah begitu banyak membaca, ia semakin menyakini akan eksisnya satu pengaruh
supranatural. Tetapi masih sulit baginya untuk menerima bahwa rasio yang berada
di balik alam semesta ini atau pengaruh supranatural itu adalah Tuhan.
Di musim semi 1929, saat ia sedang berada di dalam sebuah bus di
Oxford, tanpa kata-kata dan sesuatu apapun, tiba-tiba ia merasa terbebani dan
dingin, seperti manusia es yang tidak terjangkau. Sesaat ia merasa harus
membuat suatu keputusan. Lalu, hatinya yang sekeras batu, sedikit demi sedikit
mulai mencair. Ia kemudian percaya. Di dalam kesendiriannya di atas bus, ia
akhirnya mengakui bahwa Yang Mutlak adalah Roh. Roh adalah Tuhan. Dan Lewis
menjadi seorang percaya (theis). Ia menulis pada temannya, “Aku menyerah. Aku
mengaku Tuhan adalah Tuhan.” Ia menggambarkan dirinya sebagai orang percaya
yang paling enggan dan patah hati.
Buku pertama yang ditulisnya setelah ia percaya adalah Pilgrim
Regress yang mendapat sambutan yang baik dari publik. Lewat buku-buku dan program-program
radionya yang popular, Lewis banyak menyakinkan orang awam akan kebenaran
Kekristenan. Tetapi Lewis juga sangat menyadari bahwa banyak orang tertarik
dengan Kekristenan pada awalnya tetapi, setelah mereka mempelajarinya lebih
dalam, mereka akan menolak dengan keras. Karena Kekristenan itu tidak mudah.
Tuhan menuntut penyerahan yang total dan memperlihatkan kepada manusia akan
jurang yang begitu besar antara daging dan yang supranatural.
Untuk menyadarkan orang Kristen akan bahaya yang mengiringi
perjalanan spiritual orang percaya, Lewis menulis 31 artikel yang akhirnya
dibukukan menjadi The Screwtape Letters. The Screwtape Letters merupakan
surat-surat dari seorang setan senior kepada setan junior, yang sedang belajar
bagaimana untuk menghancurkan iman orang Kristen. Buku ini diterbitkan pada
tahun 1942 dan Lewis mendedikasikan buku itu kepada Tolkien.
Pergumulan intelektual Lewis dari seorang ateis menjadi seorang
percaya membuatnya calon yang tepat untuk menulis tentang apologetika atau
mempertahankan iman Kekristenan. Lewis akhirnya menjawab sendiri
pertanyaan-pertanyaan yang sering dipakainya untuk menantang orang-orang
percaya. Buku yang berjudul The Problems of Pain yang bertujuan untuk
menjelaskan penderitaan kemudian menerima sambutan yang hangat di kalangan
orang awam. Ia berkata kepada kakaknya, “Saya harus menyakinkan pembaca bahwa
saya menganjurkan Kekristenan bukan karena saya menyukainya atau karena itu
baik bagi masyarakat, tetapi karena Kekristenan adalah kebenaran. Hal ini memang
terjadi. Suatu fakta sentral dalam keberadaan kita!” Dari seseorang yang keras
menolak kebenaran, Lewis kemudian menjadi seseorang yang tidak tergoyahkan
dalam keyakinannya akan kebenaran dan eksistensi Tuhan.
III.
Kisah Narnia : The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch
and The Wardrobe
Saya memilih kisah Narnia dari buku yang pertama
berjudul The Chronicles of Narnia:
The Lion, The Witch and The Wardrobe untuk dibahas, karena buku ini
adalah buku pertama dari tujuh serial The Chronicles of Narnia yang ditulis oleh lewis. Selain itu
buku ini mengandung unsur-unsur teologis dan spiritual dibalik wujudnya sebagai
suatu karya seni sastra dalam bentuk novel atau fiksi.
Meskipun Narnia berakar dalam fantasi pribadi, namun
kisah ini muncul dari kehidupan nyata. Tepat sebelum Inggris memasuki masa
Perang Dunia Kedua, di awal September 1939, Lewis dan teaman-temannya menerima
di rumah mereka di Oxford empat anak yang dikirim dari London untuk
menyelamatkan diri dari serangan udara musuh.[13]
Peristiwa itu lantas menjadi ide Lewis dalam
menuliskan kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and
The Wardrobe. Hal itu nampak dalam catatan yang ditulisnya mengenai peristiwa itu,
yakni[14] :
Buku ini tentang empat
anak yang bernama Ann, Martin, Rose, dan Peter, tapi terutama tentang Peter yang paling muda. Mereka semua harus
pergi dari London tiba-tiba karena serangan udara, dan karena
ayah mereka yang bergabung dalam ketentaraan telah pergi berperang dan ibu
melakukan pekerjaan yang berkaitan
dengan perang. Mereka dikirim
untuk tinggal bersama saudara
ibu yaitu profesor sangat tua
yang tinggal sendirian di pedesaan.
Hampir
sepuluh tahun kemudian paragraf itu, dengan sedikit perubahan dan dengan
nama-nama yang berbeda menjadi bagian pembuka novel pertama Narnia The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and
The Wardrobe.[15]
Dulu ada empat anak yang
bernama Peter, Susan, Edmund dan Lucy. Kisah
ini tentang
sesuatu yang terjadi pada mereka saat mereka diungsikan dari London selama
perang karena serangan udara. Mereka dikirim ke rumah seorang profesor tua yang tinggal di pedesaan,
sepuluh mil dari jalankereta api terdekat dan dua mil dari kantor pos terdekat. Dia tidak punya istri dan
tinggal bersama pengurus rumah bernama
Mrs. Macready dan tiga pelayan.
The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe terdiri dari 17 bab. Setiap bab merupakan episode-episode
yang saling berhubungan. Ke 17 bab tersebut dibuat dalam bentuk semacam daftar
yang menampung setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Hal itu merupakan salah
satu ciri khas novel[16]. Ke 17 bab dalam buku The
Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe tersebut dapat
dilihat sebagai berikut[17] :
Bab 1 : Lucy melihat ke dalam Lemari
Bab 2 : Apa yang Lucy temukan di sana
Bab 3 : Edmund dan lemari
Bab 4 : Turkish Delight
Bab 5 : Kembali ke sisi pintu sebelah sini
Bab 6 : Masuk ke hutan
Bab 7 : Sehari bersama keluarga berang-berang
Bab 8 : Apa yang terjadi setelah makan malam
Bab 9 : Di rumah si penyihir
Bab 10 : Kutukan melemah
Bab 11 : Aslan semakin dekat
Bab 12 : Pertempuran pertama Peter
Bab 13 : Sihir ajaib dari awal waktu
Bab 14 : Kemenangan si Penyihir
Bab 15 : Sihir yang lebih ajaib dari sebelum awal
waktu
Bab 16 : Apa yang terjadi pada patung-patung
Bab 17 : Perburuan Rusa Putih
Sarana mekanis di atas digunakan untuk menyusun
peristiwa dalam novel secara kronologis sehingga dapat dikatakan bermanfaat dan
dipahami maksudnya dengan lebih rinci dan jelas.[18]
Pencatatan judul tiap bab di atas juga dimaksudkan mengurangi kecerobohan
pembaca, dalam hal ini pembaca lebih mudah memahami serta mengingat semua
peristiwa yang tengah berlangsung pada bagian sebelumnya serta memungkinkan
pembaca memahami pola dan struktur dari novel yang bersangkutan.[19]
Meskipun terdapat pembagian seperti di atas dalam
novel, pembaca tetap diharapkan mampu untuk mengenali prinsip “kebersatuan”
novel yang bermuara pada maksud utama atau tema. Kita dapat menemukan
keunikan-keunikan dalam novel karangan siapa pun. Keunikan tersebut dapat
berupa prinsip-prinsip etis, konflik-konflik, tipe-tipe latar,
karakter-karakter dan tindakan.
Novel seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain,
sering memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-unsur
yang dapat didiskusikan seperti berikut[20] :
a. Latar
unsur prosa cerita yang disebut latar ini menyangkut
tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial bahkan kadang-kadang lingkungan
politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung. Latar kadang-kadang
dikemukakan secara tersurat oleh pengarangnya sebelum ia menuturkan ceritanya
atau dapat pula baru ia munculkan latar cerita setelah perkembangan ceritanya
berlangsung cukup lama.
b. Perwatakan
Sebuah novel tidak mungkin tanpa ada perwatakan dari
tokoh-tokoh di dalamnya. Daya tarik sebuah novel terpancar lewat imajinasi
kreatif si pengarang. Lewat imajinasi pengarang itulah, pembaca dapat
berkenalan dengan sejumlah variasi tipe manusia berikut masalahnya. Seorang
pembaca novel biasanya tertarik pada persepsi, penafsiran dan pemahaman
tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang. Perwatakan tokoh dalam novel kadangkala
dipaparkan dalam dua golongan, yakni ‘baik’ dan ‘buruk’ atau ‘simpatik’ dan
‘tidak simpatik’ dalam hal ini pengakategoriannya disebut ‘kebaikan’ dan
‘keburukan’. Jika kita membaca sebuah novel, bagian paling penting yang harus
dilakukan adalah usaha untuk mencari nilai yang disuguhkan pengarang pada
setiap tokoh. Dalam hal ini novel memang dapat dijadikan wahana untuk studi psikologi
kemanusiaan.
Adapaun cara pengarang membeberkan perwatakan
tokoh-tokoh dalam novel adalah sebagai berikut:
1. Disampaikan sendiri oleh pengarang pada pembaca
2. Disampaikan oleh pengarang lewat apa saja yang
dikatakan oleh tokoh-tokoh cerita itu sendiri.
3. Disampaikan lewat apa yang dikatakan oleh tokoh
lain tentang tokoh tertentu.
4. Disampaikan lewat apa yang terwakili oleh tokoh
itu sebagai pemikiran, perasaan, pekerjaan dan
ulangan-ulangan perbuatan.
c. Cerita
Di dalam novel, menemukan penyajian tentang ‘apa
yang terjadi’ dan ‘mengapa terjadi’ sebagai unsur yang penting.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia yang diungkap dalam novel
tidak hanya meliputi peristiwa-peristiwa fisik tetapi juga peristiwa kejiwaan
dan konflik yang terjadi tidak hanya secara lahiriah tetapi juga batiniah.
Cerita dalam novel juga bisa dibangun atas dasar kombinasi aspek fakta-fakta
tertentu dengan hal-hal yang fiksi. Novel macam ini biasanya menghadirkan
berbagai macam tokoh fiksi yang disajikan dalam situasi historis yang aktual.
d. Teknik Cerita
Peristiwa-peristiwa dalam suatu novel baik yang
dikisahkan dalam bentuk orag pertama atau orang ketiga biasanya berkaitan
secara kronologis dan langsung diungkapkan secara berurutan dari awal sampai akhir
cerita. Ini adalah teknik bercerita yang mudah untuk diikuti dan dipamahi. Ada
juga teknik bercerita lain yang agak sulit diikuti misalnya yang hampir secara
keseluruhan berisi monolog internal yang luas atau menitikberatkan hanya pada
kesadaran batin seorang tokoh dan dinamika kehidupannya.
e. Bahasa
Untuk mendeskripsikan dan membuat definisi novelnya,
biasanya penulis menggunakan pola kebahasaan yang seragam dari awal sampai
akhir. Untuk menuliskan narasi atau percakapan langsung penulis memodifikasi
sedemikan rupa pola kebahasaan untuk merefleksikan pikiran-pikiran dan perasaan
dari perwatakan tokoh-tokoh dalam novelnya. Unsur kebahasaan juga menyangkut
ungkapan-ungkapan yang digunakan pengarang untuk menulis dan membangun alur
cerita.
f. Tema
Puncak dalam memahami dan mempelajari novel adalah
menemukan kesimpulan dari keseluruhan fakta dalam cerita yang sudah dicerna.
Kesimpulan itulah yang disebut sebagai tema. Beberapa novel ada yang mudah
ditangkap temanya karena alur cerita yang jelas dan penggambaran yang jelas
memuncak pada pemahaman tehadap tema utama apa yang hendak diangkat dalam novel
tersebut. Dalam konteks novel Indonesia misalnya dalam novel Siti Nurbaya karya
Marah Rusli yang mengangkat tema bahwa pernikahan yang dipaksakan secara sepihak
akhrinya berantakan.
Struktur novel Narnia akan penulis jabarkan menurut
struktur novel diatas sebagai berikut :
a. Latar
Dalam novel The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
karangan C.S. Lewis, latar cerita sudah disebutkan di awal, dalam perkembangan
kisahnya juga latar dijelaskan secara eksplisit. Latar yang pertama adalah
rumah sang profesor yang menjadi pintu masuk ke latar selanjutnya yaitu dunia
Narnia yang menakjubkan.
b. Perwatakan
Dalam novel The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe, setiap
perwatakan tokoh-tokohnya digambarkan dengan cukup jelas. Tokoh-tokoh dalam
kisah Narnia tersebut yang paling menonjol dikisahkan adalah sebagai berikut :
1.
Anak-anak dari Keluarga Pevensie yaitu Peter yang merupakan anak tertua
memiliki sifat tegas dan berani, Susan yang merupakan anak kedua memiliki
sifat sabar, lemah lembut dan sangat
menyayangi saudara-saudaranya, Edmund yang merupakan anak ketiga memiliki sifat
seringkali gampang marah, emosional dan suka memberontak/tidak mau kalah dan
Lucy yang merupakan anak bungsu memiliki sifat lugu, jujur, mudah memaafkan,
panda bergaul dan berani. Penggambaran watak keempat tokoh ini sebagaimana
dalam teori sastra mengenai cara untuk melihat watak tokoh dalam novel terlihat
jelas dan memang bisa dibagi ke dalam kelompok ‘tokoh yang baik/protagonis’ dan
‘tokoh jahat/antagonis’. Keempat anak keluarga pevensie adalah kelompok tokoh
yang baik, meskipun dalam salah satu kisah Edmund anak ketiga dar keluarga Pevensie
sempat berkonflik dengan saudara-saudaranya dan menjadi pengikut Jadis, si
penyihir putih namun kemudian dia berbalik kembali sebagai tokoh yang baik.
2.
Mr. Tumnus adalah sosok ajaib dalam kisah Narnia karena dia adalah faun-dari
pinggang ke atas dia manusia, tapi tungkainya berbentuk seperti kaki kambing
dan bukannya kaki dia memiliki tapal kambing. Dia memiliki sifat yang peragu
namun pada dasarnya baik hati.
3.
Bapak dan Ibu Berang-berang adalah memang binatang berang-berang yang
digambarkan dapat berbicara dengan bahasa manusia. Mereka digambarkan sebagai
binatang yang lucu, baik hati, suka menolong dan berpihak pada Aslan.
Penggambaran keluarga berang-berang nampak seperti keluarga manusia pada
umumnya.
4.
Jadis, sang penyihir putih adalah tokoh jahat/antagonis. Ia memiliki sifat
kejam, curang, menghalalkan segala cara dan sombong. Ia adalah sosok sentral
dalam kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe. Dia
yang dimaksud sebagai the which/sang penyihir yang disebut sebagai judul dalam
novel pertama kisah Narnia tersebut.
5.
Aslan, sang singa adalah tokoh sentral yang diangkat dalam kisah Narnia. Dialah
penguasa Narnia sebenarnya. Aslan adalah
singa yang bisa berbicara, memiliki bulu lebat dan keemasan. Ia memiliki sifat
bijaksana, tegas berani, sekaligus lemah lembut dan rela berkorban. Aslan
adalah bahasa Turki untuk singa. Dalam companion to Narnia, Paul F Ford memberi
catatan bahwa As dalam bahasa Skandinavia adalah ‘Tuhan’.[21]Menurut Colbert, Aslan
adalah Yesus yang memakai bulu (penggambaran sosok Yesus sebagai singa) Dalam
tradisi kekristenan tidak ada yang aneh tentang Kristus mengambil rupa singa.
Itu merupakan simbol tua, seperti domba dan unicorn. Yesus disebut sebagai “singa
dari suku Yehuda” dalam kitab suci (Wahyu 5: 5). Lewis kadangkala memasang
huruf besar pada kata “Dia” saat memaksudkan Aslan, seolah sedang menulis dan
merujuk pada sosok Tuhan.[22] Pengorbanan Aslan demi
anak manusia (Edmund yang dicuilk oleh penyihir putih ditukar dengan Aslan yang
menyerahkan diri), kematiannya dan kebangkitannya pada hari ke-3 nampak sebagai
suatu simbolisme dari sosok Yesus yang dikisahkan dalam Alkitab.
c.
cerita
Narnia
adalah sebuah negeri ajaib. Narnia dipimpin oleh Sang Singa Aslan, sebelum
akhirnya dikuasai oleh Jadis sang penyihir putih.
d.
Teknik Cerita
e.
Bahasa
f.
Tema
IV.
Kajian Teologis The Chronicles of
Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Menurut E.G. Singgih, seharusnya yang dikembangkan
dalam konteks Indonesia adalah teologi cerita.[23]
V.
Kajian Spiritualitas The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan adalah
pesan sederhana yang dimunculkan dalam kisah Narnia. Pesan sederhana ini bagi
anak-anak dapat dipahami dengan baik. Simbolisme kebaikan yang diwakili oleh
sosok Aslan dan keempat anak-anak keluarga pevensie serta kejahatan yang
diwakili oleh sosok penyihir putih digambarkan dengan lugas dan dapat ditangkap
dengan baik.
Spiritualitas yang diberikan oleh Narnia memang
terasa warna kekristenannya. Adanya beberapa kemiripan dengan penggambaran dan
simbolisme dalam Alkitab. Misalnya soal pengrorbanan Aslan untuk menebus Edmund.
Bisa dilhat sebagai simbolisme pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus
dosa manusia. Meskipun sosok Aslan dikaitkan dengan sosok Yesus namun tidaklah
selalu harus dipahami seratus persen demikian. Menurut Colbert, Aslan selalu
melakukan apa yang mungkin dilakukan Yesus, tapi dia tidak selalu melakukan apa
yang telah dilakukan Yesus.[24]
Menurut penulis, novel Narnia juga mengandung unsur
teologi mistik, karena menggambarkan cinta kepada Tuhan yang ditunjukkan dengan
sikap rela berkorban dan keberanian yang tumbuh karena cinta.
Pengarang kisah Narnia C.S. Lewis adalah seorang
yang mengalami hubungan yang mistis dia mengalamai sendiri perjumpaannya dengan
Tuhan sehingga dia yang tadinya tidak meyakini keberadaan Tuhan berbalik
menjadi percaya dan kecintaanya pada Tuhan nampak dalam keseluruhan isi The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch
and The Wardrobe.
Bagaimanakah
spiritualitas orang yang mempunyai pengalaman mistik kristen? William Johnston
memberikan gambaran mengenai kesatuan antara anugerah dan panggilan hidup
mistik dengan rasa solidaritas, persatuan antara manusia, dan dengan lingkungan
dan seluruh alam raya. Kutipan berikut dari Johnston menurut penulis
dapat memberi gambaran
tentang spiritualitas hidup mistik Kristen seperti penggambaran karakter tokoh
yang baik/protagonis dalam kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The
Witch and The Wardrobe, seperti contohnya Aslan dan anak-anak keluarga
Pevensie, yaitu[25]
:
"Mistikus sejati tidak
pernah dapat melarikan diri dari dunia. la harus berempati dengan penderitaan dan kesedihan yang
merupakan wansan bersama umat manusia. Bahkan mistikus yang hidup menyendiri yang
tinggal di gunung atau gurun harus, tetap beihu-bungan dengan dunia - mencintai dunia,
menderita dengan dunia, menghadapi kejahatan dunia. Dan para mistikus aktif yang hidup di
tengah hiruk pikuk dunia masuk ke alam diam batin seperti yang dialami oleh mereka yang hidup di
gurun. Mereka meng-alami api batin dan cahaya batin; mereka mengalami kobaran cinta
yang menyala, yang mem-buat ada mereka menjadi ada yang mencinta. Nah, api batin itu
mendorong mereka -bukan lagi ke rimba belantara (kendati mereka mungkin memang hidup untuk
beberapa waktu lainanya di rimba raya), melainkan ke pasar yang berjejalan dan ke
kota batin. Kobaran cinta yang menyala mendorong mereka ikut mengadakan pawai damai, berde-monstrasi di jalanan, mengutuk
struktur yang menindas, menghadapi raja-raja dan pe-nguasa, pergi ke penjara dan
mati di sana. Seperti mistikus di gurun, mereka mengalami malam gelap yang menyedihkan dan
mencapai pencerahan mendalam. Mistikus di gurun sepi dan mistikus di kota sibuk
sama-sama mengikuti Dia yang mengosonkan diri-Nya dan mengambil rupa hamba serta
dianugerahi nama yang melebihi segala nama."
Narnia adalah dunia yang mengalami kekejaman dan
penindasan oleh penyihir putih yang jahat. Anak-anak keluarga Pevensie,
dipanggil untuk membantu membebaskan Narnia dari kesewenangan dan penindasan
oleh sang penyihir.
VI.
Kajian Seni The Chronicles of
Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan.
Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang
ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan,
kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti
khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat
diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui
bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya.[26]
Secara morfologis, kesusastraan dibentuk dari dua
kata, yaitu su dan sastra dengan mendapat imbuhan ke-
dan -an. Kata su berarti baik atau bagus, sastra
berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan dapat diartikan sebagai tulisan
yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa, bentuk, maupun isinya. Dalam
konteks kesenian, kesusastraan adalah salah satu bentuk atau cabang kesenian
yang menggunakan media bahasa sebagai alat pengungkapan gagasan dan perasaan senimannya,
shingga sastra juga disamakan dengan cabang seni lain seperti seni tari, seni lukis,
seni musik, dan sebagainya.[27]
Ada tiga hal yang berkaitan
dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan seni sastra, yakni[28] :
a. Ilmu sastra adalah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu
mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni sastra.
b. Teori sastra adalah
asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
c. Seni sastra adalah
proses kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi,
cerpen/novel, atau drama.
Karya sastra pada dasarnya
adalah sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya.
Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang
dikomunikasikan kepada pembaca. Untuk menangkap ini, pembaca harus mampu
mengapresiasikannya. Pengetahuan tentang pengertian sastra belum lengkap bila belum tahu
manfaatnya. Horatius mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan
menyenangkan. Secara lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.[29]
- Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
- Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya.
- Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
- Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
- Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu.
VII.
Refleksi dari The Chronicles of
Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Kepekaan terhadap bahasa lambang, memungkinkan
setiap pengalaman dalam dalam hidup sehari-hari dapat bermuara menjadi
pengalaman religius. Setiap peristiwa profan juga bisa menjadi peristiwa sakral[30].
Hal ini bisa kita lihat dalam kisah Narnia yang memang juga menyinggung
mengenai hal-hal yang religius. Menurut David Colbert, penulis buku The Magical
Worlds of Narnia yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Dunia Ajaib
Narnia : Kumpulan mitos, legenda, dan fakta menarik, dari ketujuh buku seri The
Chronicles of Narnia, Buku pertama The Chronicles of Narnia: The
Lion, The Witch and The Wardrobe adalah satu-satunya yang menyinggung
beberapa hal mengeani agama.[31]
Menurut
Colbert lagi, Lewis ingin pembaca terlibat dalam cerita, sehingga tidak
memikirkan apa yang mereka baca. Selain itu ia ingin agar mereka merasakannya,
mengalami agama itu sebagai emosi bukan pemikiran.[32] Hewan-hewan dan penyihir
fantastis dalam Narnia lebih merupakan rencana yang diperhitungkan dengan
matang untuk membuat kitab suci menjadi lebih menarik. Lewis percaya dongeng
dan agama berhubungan secara alami. Dia melihat mitos dan legenda sebagai
langkah dalam perkembangan kepercayaan manusia. Baginya dongeng merupakan
langkah logis menuju keagamaan.[33]
VIII.
Penutup
Pendidikan estetika sangat berguna bagi pendidikan
religius, karena dengan mengembangkan kepekaan estetik, dapat dikembangkan pula
kepekaan terhadap gejala-gejala yang mengisyratkan kehadiran Tuhan.
Lambang-lambang bukan hanya gambar-gambar atau patung-patung. Bahasa, cara
mendaraskan ayat-ayat suci dari kitab suci, sikap badan bila berdoa, bentuk dan
dekorasi tempat ibadah, itu semua merupakan ungkapan pengalaman religuus dalam
bentuk lamban-lambang.[34]
Bagi orang yang peka dengan bahasa lambang, setiap pengalaman dalam hidup
sehari-hari dapat bermuara menjadi pengalman religius, setiap persitiwa profan
bisa menjadi peristiwa yang sakral.
Sebuah film atau novel biarpun tidak langsung
berbicara mengenai Tuhan dapat menggetarkan hati kita dan membuka cakrawala
religius.[35]
Menurut penulis The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah
salah satu contohnya. Dari sebuah novel yang berisi dongeng dan cerita bahkan
diperuntukkan bagi anak-anak namun dapat juga dihayati oleh orang dewasa dan
bahkan sifatnya universal dan merangsang kepekaan spiritualitas setiap orang.
Hal ini membuktikan bahwa novel juga adalah media yang baik untuk berteologi
dan berspiritual.
Narasi atau cerita adalah bagian yang dekat dengan
konteks Indonesia. Gereja seringkali kurang memperhatikan hal itu. Di GKMI
Yogyakarta, ada satu bagian dalam liturgi ibadah yang disebut cerita kecil.
Pada bagian itu si pengkhotbah akan sekaligus bercerita untuk anak-anak.[36]
Mereka disuruh maju ke depan dan si pengkhotbah bercerita kepada anak-anak
tentang suatu kisah yang menarik dan mempunyai muatan moral dan pesan
kemanusiaan yang bisa dipahami oleh anak-anak. Namun ternyata yang menikmati
kisah itu bukan hanya anak-anak. Jemaat yang lain pun tampak menyimak kisah
yang disampaikana pengkhotbah dengan seksama. Hal ini menunjukkan bahwa cerita
adalah bahasa universal yang bisa dinikmati siapa saja tanpa terkecuali. Bahkan
tidak jarang pesan yang disamapikan melalui cerita akan lebih kuat diresapi.
Kenapa tidak dalam suatu khotbah si pengkhotbah
menyampaikan dengan cerita yang mendalam bukan sekedar tempelan. Sehingga
teologi cerita itu bisa diangkat dan digali lebih dalam lagi bukan hanya
cerita-cerita dari luar tapi juga dari kekayaan nusantara.
Segi lain adalah merangsang para penulis Kristen
untuk membuat kisah-kisah yang bermuatan religius tanpa harus menjadi
segmented. Bahwa melalui kisah-kisah atau cerita, semua orang bisa menikmatinya
tanpa batasan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
BUKU
Colbert, David .
The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib
Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik. 2006. PT. Gramedia.
Jakarta.
Hartoko,
Dick.1995. Manusia dan Seni. Kanisius. Yogyakarta.
Johnston,
William. 2001. Teologi Mistik Imu Cinta. Kanisius. Yogyakarta.
Olla, Paulinus
Yan MSF. 2010. Teologi Spiritualitas :
Pengantar pada Teologi Spiritualitas, Tema-tema dan Strukturalisasi
Pengajarannya. Kanisius. Yogyakarta.
Lewis, C. S. 2010. The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch
and The Wardrobe. PT.Gramedia. Jakarta.
Singgih, Emanuel
Gerrit. 2000. Berteologi dalam Konteks. Kanisius. Yogyakarta
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
B.
INTERNET
[1]http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=NjA=.&when=MjAwNTEwMDQ=diakses
pada tanggal 1 Januari 2011
[2] Ibid
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/The_Chronicles_of_Narnia:_The_Lion,_the_Witch_and_the_Wardrobe
diakses pada tanggal 1 Januari 2011
[4]
Ibid
[5]
Paulinus Yan Olla, MSF, Teologi
Spiritualitas : Pengantar pada Teologi Spiritualitas, Tema-tema dan
Strukturalisasi Pengajarannya ( Yogyakarta : Kanisius, 2010) p. 219.
[6] C. S. Lewis, The Chronicles
of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (Jakarta : PT.Gramedia, 2010) p. 232.
[7]
Ibid.
[8]
http://pelitaku.sabda.org/fakta_fakta_menarik_dan_unik_mengenai_cs_lewis diakses pada tanggal 2 Januari 2011
[10]
Ibid
[11]
Ibid
[12]
http://www.cahayapengharapan.org/kesaksian_hidup/texts/pengakuan_seorang_ateis.htm
diakses pada tanggal 2 Januari 2011.
[13]
David Colbert, The Magical Worlds of
Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik
(Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 15.
[14] Ibid.
[15]
C. S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (Jakarta : PT.Gramedia, 2010) p. 9.
[16]
Robert Stanton, Teori Fiksi
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007) p. 95.
[18]
Stanton, Teori Fiksi, p. 95.
[19]
Ibid, p. 96.
[20]
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra
( Yogyakarta : Kanisius, 1992) pp.
70-75.
[21]
David Colbert, The Magical Worlds of
Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik
(Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 22.
[22]
Ibid.
[23]
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam
Konteks (Yogyakarta : Kanisius, 2000) p. 61.
[24]
David Colbert, The Magical Worlds of
Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik
(Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 23.
[25] William
Johnston, Teologi Mistik Imu Cinta
(Yogyakarta : Kanisius, 2001) pp. 364-365.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29]
Ibid.
[30]
Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta : Kanisius, 1995) p .52.
[31]
David Colbert, The Magical Worlds of
Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik
(Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 13.
[32]
Ibid.
[33]
Ibid, p. 14.
[34]
Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta : Kanisius, 1995) p .52.
[35]
Ibid.
[36]
GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Yogyakarta adalah gereja beraliran
Mennonite yang ada di kota Yogyakarta.
Seriously, your blog is worth to read. Good-arranged so far. I'm the fans of fantasy literature (Tolkien especially) and finished reading narnia for 4 years ago and I never figured out the spiritual content until I read The Voyage Of the Dawn Treader. Really surprisingly though.
BalasHapus