Jumat, 30 Agustus 2013

teologi dalam film narnia


TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI
The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe
KARANGAN C. S. LEWIS


I. Pendahuluan
C.S. Lewis (1898-1963) penulis dari kisah fantasi The Chronicles of Narnia, mencoba menyampaikan beragam makna positif yang secara halus dan mudah dipahami tersaji dalam rangkaian kisah petualangan di dunia Narnia. Narnia yang diceritakan dalam bukunya adalah dunia khayal yang penuh dengan keajaiban (bila dibandingkan dengan dunia biasa yakni bumi), dan Narnia bisa dimasuki manusia lewat sebuah lemari baju (wardrobe).[1]

Buku pertama cerita fantasi dunia Narnia yang ditulis Lewis, berjudul The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch, and The Wardrobe, selesai ditulis pada tahun 1949.[2] Meski pada dasarnya C.S Lewis (selanjutnya disebut Lewis) tak berencana untuk melanjutkan kisah Narnia yang pertama ini, namun ketika buku tersebut mendapat sambutan yang baik dari pembacanya, ia kemudian secara berkesinambungan membuat keenam buku lainnya. Jadi bila diurutkan, buku ini adalah buku yang mengawali serial petualangan Narnia yang secara keseluruhan terdiri atas 7 (tujuh) buku.

Selain dalam bentuk novel (sebagai karya sastra) yang laris dan sukses, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe kemudian diangkat menjadi sebuah film. Film tersebut dibuat berdasarkan buku, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe novel pertama yang diterbitkan dalam seri fantasi anak-anak The Chronicles of Narnia karangan C.S. Lewis.

Film ini ditayangkan pertama kali pada 8 Desember 2005 di Britania Raya.[3] Film ini berslogan :
            There are a thousand stories in the land of Narnia... The first is about to be told.      (bahasa  Indonesia: "Ada ribuan cerita dalam tanah Narnia … Yang      pertama           akan    segera diceritakan.")[4]


The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah sebuah karya yang mengagumkan dan sarat dengan pesan moral. Dibalik bentuknya sebagai karya seni yang indah yakni dalam bentuk sastra, ternyata kita juga bisa menemukan kandungan teologis dan spiritual di dalamnya, bahkan itu bisa dimaknai secara universal tidak hanya terbatas pada satu agama atau keyakinan tertentu.

Hal itu bisa dilihat dari orang-orang yang menggemari kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe baik yang dirilis dalam bentuk buku maupun dalam bentuk film. Tua-muda, laki-laki dan perempuan, anak-anak hingga orang dewasa, orang yang beragama maupun tidak (dalam konteks di barat) setiap orang tanpa terkecuali bisa menikmati The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe, sebab karya tersebut bersifat universal dan bisa dinikmati semua kalangan.

Pemilihan buku atau novel sebagai media kajian, penulis asumsikan sebagai sebuah karya seni yang bisa digunakan dengan efektif dalam rangka berteologi dan berspiritualitas, karena pada dasarnya karya sastra dalam hal ini melalui novel yang berupa karya fiksi atau bisa dikatakan juga sebagai suatu narasi bisa digunakan sebagai titik pijak dalam upaya refleksi teologi spiritual.[5]
Dalam paper ini, saya (selanjutnya disebut penulis) mencoba untuk menggali kedalaman makna teologi, spiritualitas dan seni dari The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe. Pertama-tama saya akan membahas latar belakang pengarangnya C.S Lewis lalu mengkaji The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe berdasarkan buku novelnya serta merefleksikannya sebagai bahan masukan dan relevansi bagi kehidupan bergereja, kemudian menyimpulkannya dalam bagian penutup.

II. Riwayat Hidup C. S. Lewis
Clive Staples Lewis atau  yang lebih dikenal sebagai C.S. Lewis lahir di Belfast tahun 1898. Dia adalah pengajar sastra Inggris di Magdalen College, Oxford, kemudian menjadi profesor sastra abad pertengahan dan pada masa Renaisans di Cambridge University. Dia tinggal di Cambridge sampai wafat pada tahun 1963[6].

Dia menulis berbagai buku kritik sastra, yang paling terkenal adalah The Screwtape Letters, juga empat novel dewasa. Ketujuh buku The Chronicles of Narnia adalah satu-satunya jenis novel yang ditulisnya untuk anak-anak.[7]
Meriahnya sambutan terhadap novel-novel The Chronicles of Narnia dan film The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe  telah membuat nama C.S. Lewis (1898-1963) sebagai penulis kisah tersebut semakin banyak dibicarakan bahkan dikagumi oleh banyak orang. Di kalangan penulis Kristen, C.S. Lewis mungkin dapat dibilang sebagai penulis Kristen paling terkenal di
zaman modern ini. Ada beberapa sisi unik dari hidup seorang C.S. Lewis, berikut beberapa di antaranya.[8]

1. Mampu menulis dalam berbagai genre
 Lewis barangkali adalah pengarang yang paling tenar, karyanya paling banyak dibaca dan paling sering disebut di dunia literatur Kristen moderen ini. Sepanjang tahun 1931-1962 ia telah menuliskan 34 buku, belum termasuk yang diterbitkan setelah kematiannya.

Bakat menulisnya juga bisa disimak dalam berbagai genre tulisan seperti puisi (Dymer), novel mitos (The Pilgrim's Regress), teologi populer (Mere Christianity), filsafat (The Abolition of Man), fiksi luar angkasa (The Ransom Trilogy), dongeng anak-anak (The Chronicles of Narnia), legenda yang diceritakan kembali (Till We Have Faces), kritik sastra (The Discarded Image), surat (Letters to Malcolm) dan otobiografi (Surprised by Joy). Walau menulis dalam bermacam genre, pesan dan pokok pikiran Lewis selalu konsisten ada di setiap tulisannnya.

2. Membentuk Komunitas penulis
Sepanjang pertengahan tahun 1930-an sampai akhir 1940-an, setiap hari Selasa dan Kamis, Lewis selalu mengadakan pertemuan dengan sesama rekan penulisnya untuk mengobrol sekaligus mengkritisi tulisan masing-masing. Pertemuan itu disebut "The Inklinks" dan melibatkan melibatkan penulis-penulis seperti J.R.R. Tolkien, Charles Williams, dan saudara Lewis sendiri yang bernama Warnie.

Warnie pernah menulis dalam diarinya sebagai berikut[9]
             "Kami bukan orang-orang yang selalu saling memuji satu sama lain.           Membacakan
            karya di depan kelompok The Inklinks membutuhkan keberanian       tersendiri."

Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh penulis-penulis dalam kelompok tersebut yang turut ditempa oleh kritik dari para sahabat di Inklinks antara lain adalah The Screwtape Letters  dan The Chronicles of Narnia karya Lewis dan The Hobbit karya Tolkien. Namun seperti yang dikatakan Tolkien pada Clyde Kilby pada tahun 1965[10],

            Selama keberadaan Lewis, saya rasa saya belum sempat menyelesaikan atau           memperlihatkan The Lord of the Rings kepadanya.

3. Pikiran untuk hal-hal yang lebih tinggi
Owen Barfield, salah satu teman dekat Lewis, bercerita bahwa pada suatu saat Lewis menyuruh Barfield untuk mendirikan sebuah badan amal ("The Agape Fund") yang didanai oleh hasil penjualan bukunya. Diperkirakan 90 persen dari pendapatan Lewis disalurkan kepada badan amal itu. Kemurahan hatinya ini bertentangan dengan pendapat George Sayer yang mengatakan bahwa Lewis mewarisi sifat ayahnya yang 'takut bangkrut', dan bahwa ayah dan anak itu 'paling enggan menginvestasikan uangnya.'

Tukang kebun Lewis yaitu Fred Paxford (yang menjadi inspirasi karakter Puddlegum dalam buku The Silver Chair salah satu dari tujuh seri buku The Chronicles of Narnia), mendapati bahwa dalam wasiatnya, Lewis hanya mewariskan uang senilai 100 pounds. Ia berkata,[11]
            Dia memang tak pernah banyak memikirkan tentang uang. Pikirannya selalu           untuk   hal-hal yang lebih tinggi lagi.

4. Novelis yang berkembang
Sebagai anak yang tumbuh di Belfast, Irlandia, ketika hari hujan Lewis dan Warnie menghabiskan banyak waktunya di dalam rumah untuk mengarang-ngarang cerita.  Lewis menggambar untuk membuat ilustrasi cerita tentang hewan-hewan yang bisa bicara, yang idenya banyak diambil dari cerita-cerita karya Beatrix Potter, Kenneth Graham dan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria. Cerita- ceritanya kelak menjadi bagian dari imajinasi yang lebih luas dari saudaranya tentang dunia "Boxen." Dialog-dialog antar karakter cerita mereka biasanya memuat pembicaraan orang dewasa yang sering mereka dengar -- biasanya tentang politik. Lewis pernah menulis mengenai perbandingan kisah-kisah masa kanak-kanaknya tersebut dengan cerita Narnia: "Kisah 'Animal Land' tidak ada hubungannya dengan Narnia selain kesamaan adanya hewan yang bertingkah seperti manusia. Kisah Animal Land, dengan segala kelebihan kekurangannya, tidak banyak memberikan rasa ketakjuban." Walau demikian, dia juga berkomentar bahwa "Dengan menciptakan dan mengarang Animal Land, saya sedang melatih diri untuk menjadi novelis."

5. Apologetis dan evangelis
Pada tahun 1955, C.S. Lewis diundang untuk bertemu Billy Graham, yang memimpin sebuah misi yang disponsori oleh Cambridge Inter- Collegiate Christian Union. Graham mengenang pertemuan itu dengan mengatakan: "Saya merasa bahwa dia bukan hanya sosok yang pintar dan ceria namun juga lembut dan penuh syukur; dia terlihat sangat tertarik dengan pertemuan (misi) kami. 'Anda tahu,' katanya saat kami akan berpisah, 'Anda mungkin banyak dikritik, namun saya belum pernah melihat ada di antara kritikus itu yang benar-benar mengenal Anda secara pribadi'."

6. Melintasi perbedaan
Banyak orang yang membaca buku pertama Lewis setelah bertobat "The Pilgrim's Regress", mengira bahwa ia adalah seorang Katolik, apalagi kenyataannya edisi kedua buku ini diterbitkan oleh sebuah penerbit Katolik. Popularitas dan pengaruh yang ia miliki di antara orang Katolik juga tetap muncul hingga kini. Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan bahwa "The Four Loves" adalah salah satu buku favoritnya.

7. Bukan sebuah perumpamaan namun "sebuah misal"
Tolkien tidak begitu menyukai sebagian kisah Narnia karena ia merasa bahwa makna kekristenannya terlalu jelas, namun Lewis bersikeras bahwa ia tidak sedang menulis perumpamaan dalam arti kata yang kaku. Dalam suratnya, Lewis menjelaskan bahwa Aslan tidak dimaksudkan untuk "mewakili" karakter Yesus dalam arti sederhana: "Mari kita bayangkan seandainya ada dunia seperti Narnia, bahwa Anak Allah, yang menjadi manusia di dunia, kemudian menjadi singa di sana, bayangkan apa yang akan terjadi kemudian."

8. Dari seorang yang atheis menjadi orang yang percaya pada Tuhan
Selama bertahun-tahun, C.S Lewis penulis karya Narnia, merupakan seorang ateis yang sangat sulit untuk diyakinkan tentang keberadaan Tuhan. Dibutuhkan pergumulan intelektual yang panjang sebelum Lewis akhirnya menerima keberadaan Tuhan. Lewis seringkali membombardir teman-temannya di Oxford, tempatnya belajar dan tempat dimana akhirnya ia mengajar, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang baginya memang tidak ada jawabannya.[12] Beberapa di antaranya misalnya:

            “Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu kejam?”
            “Mengapa Tuhan Anda mengizinkan seorang bayi meninggal?”
            “Mengapa Tuhan Anda mengizinkan hewan yang tidak berdaya menderita   sakit?”
            “Mengapa Tuhan Anda menciptakan alam semesta yang begitu besar tapi hanya     satu      planet yang dapat didiami?”
            “Mengapa alam semesta ciptaan Tuhan Anda ini berjalan sesuai dengan     perkiraan para ilmuwan?”
            “Jika Tuhan Anda itu baik dan maha kuasa, mengapa begitu banyak dari    makhluk ciptaan-Nya yang tidak gembira? Bukankah Ia maha pengasih?”
            “Mengapa manusia selalu terlibat dalam perang dan saling membunuh?”

Pada waktu itu Lewis hanya percaya pada rasionalisme dan materialisme. Tetapi di dalam pencariannya yang panjang, ia akhirnya harus mengakui bahwa materi dan rasio tidak dapat menjelaskan pengalaman manusia. Setelah begitu banyak membaca, ia semakin menyakini akan eksisnya satu pengaruh supranatural. Tetapi masih sulit baginya untuk menerima bahwa rasio yang berada di balik alam semesta ini atau pengaruh supranatural itu adalah Tuhan.

Di musim semi 1929, saat ia sedang berada di dalam sebuah bus di Oxford, tanpa kata-kata dan sesuatu apapun, tiba-tiba ia merasa terbebani dan dingin, seperti manusia es yang tidak terjangkau. Sesaat ia merasa harus membuat suatu keputusan. Lalu, hatinya yang sekeras batu, sedikit demi sedikit mulai mencair. Ia kemudian percaya. Di dalam kesendiriannya di atas bus, ia akhirnya mengakui bahwa Yang Mutlak adalah Roh. Roh adalah Tuhan. Dan Lewis menjadi seorang percaya (theis). Ia menulis pada temannya, “Aku menyerah. Aku mengaku Tuhan adalah Tuhan.” Ia menggambarkan dirinya sebagai orang percaya yang paling enggan dan patah hati.

Buku pertama yang ditulisnya setelah ia percaya adalah Pilgrim Regress yang mendapat sambutan yang baik dari publik. Lewat buku-buku dan program-program radionya yang popular, Lewis banyak menyakinkan orang awam akan kebenaran Kekristenan. Tetapi Lewis juga sangat menyadari bahwa banyak orang tertarik dengan Kekristenan pada awalnya tetapi, setelah mereka mempelajarinya lebih dalam, mereka akan menolak dengan keras. Karena Kekristenan itu tidak mudah. Tuhan menuntut penyerahan yang total dan memperlihatkan kepada manusia akan jurang yang begitu besar antara daging dan yang supranatural.

Untuk menyadarkan orang Kristen akan bahaya yang mengiringi perjalanan spiritual orang percaya, Lewis menulis 31 artikel yang akhirnya dibukukan menjadi The Screwtape Letters. The Screwtape Letters merupakan surat-surat dari seorang setan senior kepada setan junior, yang sedang belajar bagaimana untuk menghancurkan iman orang Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1942 dan Lewis mendedikasikan buku itu kepada Tolkien.

Pergumulan intelektual Lewis dari seorang ateis menjadi seorang percaya membuatnya calon yang tepat untuk menulis tentang apologetika atau mempertahankan iman Kekristenan. Lewis akhirnya menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang sering dipakainya untuk menantang orang-orang percaya. Buku yang berjudul The Problems of Pain yang bertujuan untuk menjelaskan penderitaan kemudian menerima sambutan yang hangat di kalangan orang awam. Ia berkata kepada kakaknya, “Saya harus menyakinkan pembaca bahwa saya menganjurkan Kekristenan bukan karena saya menyukainya atau karena itu baik bagi masyarakat, tetapi karena Kekristenan adalah kebenaran. Hal ini memang terjadi. Suatu fakta sentral dalam keberadaan kita!” Dari seseorang yang keras menolak kebenaran, Lewis kemudian menjadi seseorang yang tidak tergoyahkan dalam keyakinannya akan kebenaran dan eksistensi Tuhan.

III. Kisah Narnia :  The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Saya memilih kisah Narnia dari buku yang pertama berjudul The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe untuk dibahas, karena buku ini adalah buku pertama dari tujuh serial The Chronicles of Narnia yang ditulis oleh lewis. Selain itu buku ini mengandung unsur-unsur teologis dan spiritual dibalik wujudnya sebagai suatu karya seni sastra dalam bentuk novel atau fiksi.

Meskipun Narnia berakar dalam fantasi pribadi, namun kisah ini muncul dari kehidupan nyata. Tepat sebelum Inggris memasuki masa Perang Dunia Kedua, di awal September 1939, Lewis dan teaman-temannya menerima di rumah mereka di Oxford empat anak yang dikirim dari London untuk menyelamatkan diri dari serangan udara musuh.[13]

Peristiwa itu lantas menjadi ide Lewis dalam menuliskan kisah  The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe. Hal itu nampak dalam catatan yang ditulisnya mengenai peristiwa itu, yakni[14] :

            Buku ini tentang empat anak yang bernama Ann, Martin, Rose, dan Peter, tapi         terutama tentang Peter yang paling muda. Mereka semua harus pergi           dari London     tiba-tiba karena serangan udara, dan karena ayah mereka yang       bergabung dalam        ketentaraan telah pergi berperang dan ibu melakukan           pekerjaan yang berkaitan            dengan perang. Mereka dikirim untuk tinggal            bersama saudara ibu yaitu profesor             sangat tua yang tinggal sendirian di pedesaan.

Hampir sepuluh tahun kemudian paragraf itu, dengan sedikit perubahan dan dengan nama-nama yang berbeda menjadi bagian pembuka novel  pertama Narnia The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe.[15]
           
            Dulu ada empat anak yang bernama Peter, Susan, Edmund dan Lucy.          Kisah   ini        tentang sesuatu yang terjadi pada mereka saat mereka diungsikan dari          London            selama perang karena serangan udara. Mereka dikirim ke rumah seorang       profesor tua yang tinggal di pedesaan, sepuluh mil dari         jalankereta api             terdekat dan    dua mil dari kantor pos terdekat. Dia tidak punya istri dan tinggal bersama pengurus rumah bernama Mrs. Macready dan tiga pelayan.

The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe terdiri dari 17  bab. Setiap bab merupakan episode-episode yang saling berhubungan. Ke 17 bab tersebut dibuat dalam bentuk semacam daftar yang menampung setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Hal itu merupakan salah satu ciri khas novel[16]. Ke 17 bab dalam buku The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe tersebut dapat dilihat sebagai berikut[17] :  
Bab 1 : Lucy melihat ke dalam Lemari
Bab 2 : Apa yang Lucy temukan di sana
Bab 3 : Edmund dan lemari
Bab 4 : Turkish Delight
Bab 5 : Kembali ke sisi pintu sebelah sini
Bab 6 : Masuk ke hutan
Bab 7 : Sehari bersama keluarga berang-berang
Bab 8 : Apa yang terjadi setelah makan malam
Bab 9 : Di rumah si penyihir
Bab 10 : Kutukan melemah
Bab 11 : Aslan semakin dekat
Bab 12 : Pertempuran pertama Peter
Bab 13 : Sihir ajaib dari awal waktu
Bab 14 : Kemenangan si Penyihir
Bab 15 : Sihir yang lebih ajaib dari sebelum awal waktu
Bab 16 : Apa yang terjadi pada patung-patung
Bab 17 : Perburuan Rusa Putih

Sarana mekanis di atas digunakan untuk menyusun peristiwa dalam novel secara kronologis sehingga dapat dikatakan bermanfaat dan dipahami maksudnya dengan lebih rinci dan jelas.[18] Pencatatan judul tiap bab di atas juga dimaksudkan mengurangi kecerobohan pembaca, dalam hal ini pembaca lebih mudah memahami serta mengingat semua peristiwa yang tengah berlangsung pada bagian sebelumnya serta memungkinkan pembaca memahami pola dan struktur dari novel yang bersangkutan.[19]

Meskipun terdapat pembagian seperti di atas dalam novel, pembaca tetap diharapkan mampu untuk mengenali prinsip “kebersatuan” novel yang bermuara pada maksud utama atau tema. Kita dapat menemukan keunikan-keunikan dalam novel karangan siapa pun. Keunikan tersebut dapat berupa prinsip-prinsip etis, konflik-konflik, tipe-tipe latar, karakter-karakter dan tindakan.

Novel seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain, sering memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-unsur yang dapat didiskusikan seperti berikut[20] :
a. Latar
unsur prosa cerita yang disebut latar ini menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung. Latar kadang-kadang dikemukakan secara tersurat oleh pengarangnya sebelum ia menuturkan ceritanya atau dapat pula baru ia munculkan latar cerita setelah perkembangan ceritanya berlangsung cukup lama.

b. Perwatakan
Sebuah novel tidak mungkin tanpa ada perwatakan dari tokoh-tokoh di dalamnya. Daya tarik sebuah novel terpancar lewat imajinasi kreatif si pengarang. Lewat imajinasi pengarang itulah, pembaca dapat berkenalan dengan sejumlah variasi tipe manusia berikut masalahnya. Seorang pembaca novel biasanya tertarik pada persepsi, penafsiran dan pemahaman tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang. Perwatakan tokoh dalam novel kadangkala dipaparkan dalam dua golongan, yakni ‘baik’ dan ‘buruk’ atau ‘simpatik’ dan ‘tidak simpatik’ dalam hal ini pengakategoriannya disebut ‘kebaikan’ dan ‘keburukan’. Jika kita membaca sebuah novel, bagian paling penting yang harus dilakukan adalah usaha untuk mencari nilai yang disuguhkan pengarang pada setiap tokoh. Dalam hal ini novel memang dapat dijadikan wahana untuk studi psikologi kemanusiaan.

Adapaun cara pengarang membeberkan perwatakan tokoh-tokoh dalam novel adalah sebagai berikut:
1. Disampaikan sendiri oleh pengarang pada pembaca
2. Disampaikan oleh pengarang lewat apa saja yang dikatakan oleh tokoh-tokoh cerita itu sendiri.
3. Disampaikan lewat apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang tokoh tertentu.
4. Disampaikan lewat apa yang terwakili oleh tokoh itu sebagai pemikiran, perasaan, pekerjaan dan  ulangan-ulangan perbuatan.

c. Cerita
Di dalam novel, menemukan penyajian tentang ‘apa yang terjadi’ dan ‘mengapa terjadi’ sebagai unsur yang penting. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia yang diungkap dalam novel tidak hanya meliputi peristiwa-peristiwa fisik tetapi juga peristiwa kejiwaan dan konflik yang terjadi tidak hanya secara lahiriah tetapi juga batiniah. Cerita dalam novel juga bisa dibangun atas dasar kombinasi aspek fakta-fakta tertentu dengan hal-hal yang fiksi. Novel macam ini biasanya menghadirkan berbagai macam tokoh fiksi yang disajikan dalam situasi historis yang aktual.

d. Teknik Cerita
Peristiwa-peristiwa dalam suatu novel baik yang dikisahkan dalam bentuk orag pertama atau orang ketiga biasanya berkaitan secara kronologis dan langsung diungkapkan secara berurutan dari awal sampai akhir cerita. Ini adalah teknik bercerita yang mudah untuk diikuti dan dipamahi. Ada juga teknik bercerita lain yang agak sulit diikuti misalnya yang hampir secara keseluruhan berisi monolog internal yang luas atau menitikberatkan hanya pada kesadaran batin seorang tokoh dan dinamika kehidupannya.

e. Bahasa
Untuk mendeskripsikan dan membuat definisi novelnya, biasanya penulis menggunakan pola kebahasaan yang seragam dari awal sampai akhir. Untuk menuliskan narasi atau percakapan langsung penulis memodifikasi sedemikan rupa pola kebahasaan untuk merefleksikan pikiran-pikiran dan perasaan dari perwatakan tokoh-tokoh dalam novelnya. Unsur kebahasaan juga menyangkut ungkapan-ungkapan yang digunakan pengarang untuk menulis dan membangun alur cerita.

f. Tema
Puncak dalam memahami dan mempelajari novel adalah menemukan kesimpulan dari keseluruhan fakta dalam cerita yang sudah dicerna. Kesimpulan itulah yang disebut sebagai tema. Beberapa novel ada yang mudah ditangkap temanya karena alur cerita yang jelas dan penggambaran yang jelas memuncak pada pemahaman tehadap tema utama apa yang hendak diangkat dalam novel tersebut. Dalam konteks novel Indonesia misalnya dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang mengangkat tema bahwa pernikahan yang dipaksakan secara sepihak akhrinya berantakan.
 
Struktur novel Narnia akan penulis jabarkan menurut struktur novel diatas sebagai berikut :
a. Latar
Dalam novel The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe karangan C.S. Lewis, latar cerita sudah disebutkan di awal, dalam perkembangan kisahnya juga latar dijelaskan secara eksplisit. Latar yang pertama adalah rumah sang profesor yang menjadi pintu masuk ke latar selanjutnya yaitu dunia Narnia yang menakjubkan.

b. Perwatakan
Dalam novel The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe, setiap perwatakan tokoh-tokohnya digambarkan dengan cukup jelas. Tokoh-tokoh dalam kisah Narnia tersebut yang paling menonjol dikisahkan adalah sebagai berikut :
1. Anak-anak dari Keluarga Pevensie yaitu Peter yang merupakan anak tertua memiliki sifat tegas dan berani, Susan yang merupakan anak kedua memiliki sifat  sabar, lemah lembut dan sangat menyayangi saudara-saudaranya, Edmund yang merupakan anak ketiga memiliki sifat seringkali gampang marah, emosional dan suka memberontak/tidak mau kalah dan Lucy yang merupakan anak bungsu memiliki sifat lugu, jujur, mudah memaafkan, panda bergaul dan berani. Penggambaran watak keempat tokoh ini sebagaimana dalam teori sastra mengenai cara untuk melihat watak tokoh dalam novel terlihat jelas dan memang bisa dibagi ke dalam kelompok ‘tokoh yang baik/protagonis’ dan ‘tokoh jahat/antagonis’. Keempat anak keluarga pevensie adalah kelompok tokoh yang baik, meskipun dalam salah satu kisah Edmund anak ketiga dar keluarga Pevensie sempat berkonflik dengan saudara-saudaranya dan menjadi pengikut Jadis, si penyihir putih namun kemudian dia berbalik kembali sebagai tokoh yang baik.

2. Mr. Tumnus adalah sosok ajaib dalam kisah Narnia karena dia adalah faun-dari pinggang ke atas dia manusia, tapi tungkainya berbentuk seperti kaki kambing dan bukannya kaki dia memiliki tapal kambing. Dia memiliki sifat yang peragu namun pada dasarnya baik hati.

3. Bapak dan Ibu Berang-berang adalah memang binatang berang-berang yang digambarkan dapat berbicara dengan bahasa manusia. Mereka digambarkan sebagai binatang yang lucu, baik hati, suka menolong dan berpihak pada Aslan. Penggambaran keluarga berang-berang nampak seperti keluarga manusia pada umumnya.

4. Jadis, sang penyihir putih adalah tokoh jahat/antagonis. Ia memiliki sifat kejam, curang, menghalalkan segala cara dan sombong. Ia adalah sosok sentral dalam kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe. Dia yang dimaksud sebagai the which/sang penyihir yang disebut sebagai judul dalam novel pertama kisah Narnia tersebut.

5. Aslan, sang singa adalah tokoh sentral yang diangkat dalam kisah Narnia. Dialah penguasa Narnia sebenarnya.  Aslan adalah singa yang bisa berbicara, memiliki bulu lebat dan keemasan. Ia memiliki sifat bijaksana, tegas berani, sekaligus lemah lembut dan rela berkorban. Aslan adalah bahasa Turki untuk singa. Dalam companion to Narnia, Paul F Ford memberi catatan bahwa As dalam bahasa Skandinavia adalah ‘Tuhan’.[21]Menurut Colbert, Aslan adalah Yesus yang memakai bulu (penggambaran sosok Yesus sebagai singa) Dalam tradisi kekristenan tidak ada yang aneh tentang Kristus mengambil rupa singa. Itu merupakan simbol tua, seperti domba dan unicorn. Yesus disebut sebagai “singa dari suku Yehuda” dalam kitab suci (Wahyu 5: 5). Lewis kadangkala memasang huruf besar pada kata “Dia” saat memaksudkan Aslan, seolah sedang menulis dan merujuk pada sosok Tuhan.[22] Pengorbanan Aslan demi anak manusia (Edmund yang dicuilk oleh penyihir putih ditukar dengan Aslan yang menyerahkan diri), kematiannya dan kebangkitannya pada hari ke-3 nampak sebagai suatu simbolisme dari sosok Yesus yang dikisahkan dalam Alkitab.

c. cerita
Narnia adalah sebuah negeri ajaib. Narnia dipimpin oleh Sang Singa Aslan, sebelum akhirnya dikuasai oleh Jadis sang penyihir putih.

d. Teknik Cerita

e. Bahasa

f. Tema


IV. Kajian Teologis The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Menurut E.G. Singgih, seharusnya yang dikembangkan dalam konteks Indonesia adalah teologi cerita.[23]

V. Kajian Spiritualitas The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan adalah pesan sederhana yang dimunculkan dalam kisah Narnia. Pesan sederhana ini bagi anak-anak dapat dipahami dengan baik. Simbolisme kebaikan yang diwakili oleh sosok Aslan dan keempat anak-anak keluarga pevensie serta kejahatan yang diwakili oleh sosok penyihir putih digambarkan dengan lugas dan dapat ditangkap dengan baik.

Spiritualitas yang diberikan oleh Narnia memang terasa warna kekristenannya. Adanya beberapa kemiripan dengan penggambaran dan simbolisme dalam Alkitab. Misalnya soal pengrorbanan Aslan untuk menebus Edmund. Bisa dilhat sebagai simbolisme pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Meskipun sosok Aslan dikaitkan dengan sosok Yesus namun tidaklah selalu harus dipahami seratus persen demikian. Menurut Colbert, Aslan selalu melakukan apa yang mungkin dilakukan Yesus, tapi dia tidak selalu melakukan apa yang telah dilakukan Yesus.[24]

Menurut penulis, novel Narnia juga mengandung unsur teologi mistik, karena menggambarkan cinta kepada Tuhan yang ditunjukkan dengan sikap rela berkorban dan keberanian yang tumbuh karena cinta.

Pengarang kisah Narnia C.S. Lewis adalah seorang yang mengalami hubungan yang mistis dia mengalamai sendiri perjumpaannya dengan Tuhan sehingga dia yang tadinya tidak meyakini keberadaan Tuhan berbalik menjadi percaya dan kecintaanya pada Tuhan nampak dalam keseluruhan isi The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe.

Bagaimanakah spiritualitas orang yang mempunyai pengalaman mistik kristen? William Johnston memberikan gambaran mengenai kesatuan antara anugerah dan panggilan hidup mistik dengan rasa solidaritas, persatuan antara manusia, dan dengan lingkungan dan seluruh alam raya. Kutipan berikut dari Johnston menurut penulis dapat memberi gambaran tentang spiritualitas hidup mistik Kristen seperti penggambaran karakter tokoh yang baik/protagonis dalam kisah The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe, seperti contohnya Aslan dan anak-anak keluarga Pevensie, yaitu[25] :
            "Mistikus sejati tidak pernah dapat melarikan diri dari dunia. la harus berempati dengan    penderitaan dan kesedihan yang merupakan wansan bersama umat manusia. Bahkan mistikus           yang hidup menyendiri yang tinggal di gunung atau gurun harus, tetap beihu-bungan dengan            dunia - mencintai dunia, menderita dengan dunia, menghadapi kejahatan dunia. Dan para mistikus aktif yang hidup di tengah hiruk pikuk dunia masuk ke alam diam batin seperti yang     dialami oleh mereka yang hidup di gurun. Mereka meng-alami api batin dan cahaya batin;             mereka mengalami kobaran cinta yang menyala, yang mem-buat ada mereka menjadi ada yang mencinta. Nah, api batin itu mendorong mereka -bukan lagi ke rimba belantara (kendati         mereka mungkin memang hidup untuk beberapa waktu lainanya di rimba raya), melainkan ke                pasar yang berjejalan dan ke kota batin. Ko­baran cinta yang menyala mendorong mereka ikut           mengadakan pawai damai, berde-monstrasi di jalanan, mengutuk struktur yang menindas,        menghadapi raja-raja dan pe-nguasa, pergi ke penjara dan mati di sana. Seperti mistikus di             gurun, mereka mengalami malam gelap yang menyedihkan dan mencapai pencerahan            mendalam. Mistikus di gurun sepi dan mistikus di kota sibuk sama-sama mengikuti Dia yang          mengosonkan diri-Nya dan mengambil rupa hamba serta dianugerahi nama yang melebihi            segala nama."
           
Narnia adalah dunia yang mengalami kekejaman dan penindasan oleh penyihir putih yang jahat. Anak-anak keluarga Pevensie, dipanggil untuk membantu membebaskan Narnia dari kesewenangan dan penindasan oleh sang penyihir.

VI. Kajian Seni The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya.[26]

Secara morfologis, kesusastraan dibentuk dari dua kata, yaitu su dan sastra dengan mendapat imbuhan ke- dan -an. Kata su berarti baik atau bagus, sastra berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan dapat diartikan sebagai tulisan yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa, bentuk, maupun isinya. Dalam konteks kesenian, kesusastraan adalah salah satu bentuk atau cabang kesenian yang menggunakan media bahasa sebagai alat pengungkapan gagasan dan perasaan senimannya, shingga sastra juga disamakan dengan cabang seni lain seperti seni tari, seni lukis, seni musik, dan sebagainya.[27]
Ada tiga hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan seni sastra, yakni[28] :
a. Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni sastra.
b. Teori sastra adalah asas-asas dan prinsip-prinsip dasar mengenai sastra dan kesusastraan.
c. Seni sastra adalah proses kreatif menciptakan karya seni dengan bahasa yang baik, seperti puisi, cerpen/novel, atau drama.
Karya sastra pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya. Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca. Untuk menangkap ini, pembaca harus mampu mengapresiasikannya. Pengetahuan tentang pengertian sastra belum lengkap bila belum tahu manfaatnya. Horatius mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.[29]
  1. Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
  2. Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya.
  3. Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
  4. Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
  5. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu.

VII. Refleksi dari The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe
Kepekaan terhadap bahasa lambang, memungkinkan setiap pengalaman dalam dalam hidup sehari-hari dapat bermuara menjadi pengalaman religius. Setiap peristiwa profan juga bisa menjadi peristiwa sakral[30]. Hal ini bisa kita lihat dalam kisah Narnia yang memang juga menyinggung mengenai hal-hal yang religius. Menurut David Colbert, penulis buku The Magical Worlds of Narnia yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan mitos, legenda, dan fakta menarik, dari ketujuh buku seri The Chronicles of Narnia, Buku pertama The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah satu-satunya yang menyinggung beberapa hal mengeani agama.[31]

Menurut Colbert lagi, Lewis ingin pembaca terlibat dalam cerita, sehingga tidak memikirkan apa yang mereka baca. Selain itu ia ingin agar mereka merasakannya, mengalami agama itu sebagai emosi bukan pemikiran.[32] Hewan-hewan dan penyihir fantastis dalam Narnia lebih merupakan rencana yang diperhitungkan dengan matang untuk membuat kitab suci menjadi lebih menarik. Lewis percaya dongeng dan agama berhubungan secara alami. Dia melihat mitos dan legenda sebagai langkah dalam perkembangan kepercayaan manusia. Baginya dongeng merupakan langkah logis menuju keagamaan.[33]

VIII. Penutup
Pendidikan estetika sangat berguna bagi pendidikan religius, karena dengan mengembangkan kepekaan estetik, dapat dikembangkan pula kepekaan terhadap gejala-gejala yang mengisyratkan kehadiran Tuhan. Lambang-lambang bukan hanya gambar-gambar atau patung-patung. Bahasa, cara mendaraskan ayat-ayat suci dari kitab suci, sikap badan bila berdoa, bentuk dan dekorasi tempat ibadah, itu semua merupakan ungkapan pengalaman religuus dalam bentuk lamban-lambang.[34] Bagi orang yang peka dengan bahasa lambang, setiap pengalaman dalam hidup sehari-hari dapat bermuara menjadi pengalman religius, setiap persitiwa profan bisa menjadi peristiwa yang sakral.

Sebuah film atau novel biarpun tidak langsung berbicara mengenai Tuhan dapat menggetarkan hati kita dan membuka cakrawala religius.[35] Menurut penulis The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe adalah salah satu contohnya. Dari sebuah novel yang berisi dongeng dan cerita bahkan diperuntukkan bagi anak-anak namun dapat juga dihayati oleh orang dewasa dan bahkan sifatnya universal dan merangsang kepekaan spiritualitas setiap orang. Hal ini membuktikan bahwa novel juga adalah media yang baik untuk berteologi dan berspiritual.

Narasi atau cerita adalah bagian yang dekat dengan konteks Indonesia. Gereja seringkali kurang memperhatikan hal itu. Di GKMI Yogyakarta, ada satu bagian dalam liturgi ibadah yang disebut cerita kecil. Pada bagian itu si pengkhotbah akan sekaligus bercerita untuk anak-anak.[36] Mereka disuruh maju ke depan dan si pengkhotbah bercerita kepada anak-anak tentang suatu kisah yang menarik dan mempunyai muatan moral dan pesan kemanusiaan yang bisa dipahami oleh anak-anak. Namun ternyata yang menikmati kisah itu bukan hanya anak-anak. Jemaat yang lain pun tampak menyimak kisah yang disampaikana pengkhotbah dengan seksama. Hal ini menunjukkan bahwa cerita adalah bahasa universal yang bisa dinikmati siapa saja tanpa terkecuali. Bahkan tidak jarang pesan yang disamapikan melalui cerita akan lebih kuat diresapi.

Kenapa tidak dalam suatu khotbah si pengkhotbah menyampaikan dengan cerita yang mendalam bukan sekedar tempelan. Sehingga teologi cerita itu bisa diangkat dan digali lebih dalam lagi bukan hanya cerita-cerita dari luar tapi juga dari kekayaan nusantara.

Segi lain adalah merangsang para penulis Kristen untuk membuat kisah-kisah yang bermuatan religius tanpa harus menjadi segmented. Bahwa melalui kisah-kisah atau cerita, semua orang bisa menikmatinya tanpa batasan.






DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Colbert, David . The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik. 2006. PT. Gramedia. Jakarta.
Hartoko, Dick.1995.  Manusia dan Seni. Kanisius. Yogyakarta.
Johnston, William. 2001. Teologi Mistik Imu Cinta. Kanisius. Yogyakarta.
Olla, Paulinus Yan MSF. 2010. Teologi Spiritualitas : Pengantar pada Teologi Spiritualitas, Tema-tema dan Strukturalisasi Pengajarannya. Kanisius. Yogyakarta.
Lewis, C. S. 2010. The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe. PT.Gramedia. Jakarta.
Singgih, Emanuel Gerrit. 2000. Berteologi dalam Konteks. Kanisius. Yogyakarta
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


B. INTERNET


[2] Ibid
[4] Ibid
[5] Paulinus Yan Olla, MSF, Teologi Spiritualitas : Pengantar pada Teologi Spiritualitas, Tema-tema dan Strukturalisasi Pengajarannya ( Yogyakarta : Kanisius, 2010) p. 219.
[6] C. S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (Jakarta : PT.Gramedia, 2010) p. 232.
[7] Ibid.
[9] http://www.christianitytoday.com/ch/2005/004/2.02.html diakses pada tanggal 2 Januari 2011
[10] Ibid
[11] Ibid
[13] David Colbert, The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik (Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 15.
[14] Ibid.
[15] C. S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (Jakarta : PT.Gramedia, 2010) p. 9.
[16] Robert Stanton, Teori Fiksi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007) p. 95.
[17] Lewis, The Chronicles of Narnia, p.8.
[18] Stanton, Teori Fiksi, p. 95.
[19] Ibid, p. 96.
[20] B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra ( Yogyakarta  : Kanisius, 1992) pp. 70-75.
[21] David Colbert, The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik (Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 22.
[22] Ibid.
[23] Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks (Yogyakarta : Kanisius, 2000) p. 61.
[24] David Colbert, The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik (Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 23.
[25] William Johnston, Teologi Mistik Imu Cinta (Yogyakarta : Kanisius, 2001) pp. 364-365.
[26] http://www.anneahira.com/pengertian-sastra.htm diakses pada tanggal 3 Januari 2011.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta : Kanisius, 1995) p .52.
[31] David Colbert, The Magical Worlds of Narnia, Dunia Ajaib Narnia : Kumpulan Mitos, Legenda, dan Fakta Menarik (Jakarta: PT. Gramedia, 2006) p. 13.
[32] Ibid.
[33] Ibid, p. 14.
[34] Dick Hartoko, Manusia dan Seni (Yogyakarta : Kanisius, 1995) p .52.
[35] Ibid.
[36] GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Yogyakarta adalah gereja beraliran Mennonite yang ada di kota Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Seriously, your blog is worth to read. Good-arranged so far. I'm the fans of fantasy literature (Tolkien especially) and finished reading narnia for 4 years ago and I never figured out the spiritual content until I read The Voyage Of the Dawn Treader. Really surprisingly though.

    BalasHapus